KOMPAS, SELASA, 18 FEBRUARI 2014
e-mail: opini@kompas.com dan opini@kompas.co.id
Misi Perguruan Tinggi Kita
Oleh DAOED JOESOEF
Rekomendasi
Forum Rektor Indonesia agar perguruan tinggi ditempatkan dalam
yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi sungguh mengejutkan.
Mengejutkan
karena ide ini datang dari forum rektor, pimpinan universitas dan
institut, bukan dari forum dosen yang adalah pengajar di situ. Namun,
hal ini melegakan karena akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di
perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut
kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.
Ada
anggota Komisi X DPR yang sangat antusias, menganggap ide Forum Rektor
Indonesia (FRI) itu begitu tepat, suatu terobosan, karena membuat hasil
riset PT jadi sesuai kebutuhan masyarakat.
PT
memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan
sesuatu yang "siap pakai" di bidang kehidupan apa pun, melainkan
membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan
manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan
kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi
dalam alam dan pergaulan (interaksi) human. Tanpa spirit begini orang
tidak akan menjadi periset, sementara riset diperlukan demi perbaikan
serta kemajuan hidup dan kehidupan.
Namun,
riset bukanlah sembarang kerja karena ia bersyarat keilmuan serta
latihan terbimbing dan terarah. Dengan kata lain, pendidikan berperan
menentukan dalam menyiapkan periset, yang kelak setelah lulus, siap
menjadi staf periset profesional di lembaga-lembaga riset, seperti BPPT,
LIPI, Kementerian Ristek, atau lembaga-lembaga swasta di komunitas
bisnis. Di lembaga-lembaga riset khusus itulah para periset alumni PT
seharusnya bisa menghasilkan aneka invensi dan penemuan, sesuai dengan
tugas lembaga riset yang mempekerjakan mereka.
Tugas perguruan tinggi
Tridharma PT di negeri kita cukup correct,
sudah betul untuk tahap akademis Indonesia dewasa ini yang masih perlu
dilingkatkan. Tugas PT pertama dan terutama adalah mendidik, baru riset,
lalu pengabdian masyarakat. Dalam mendidik termasuk pendidikan tentang
seluk-beluk riset. Kalau dalam proses pendidikan riset ini PT sampai
menghasilkan biji jagung sebesar jempol kaki atau obat manjur serba
guna, tentu terpuji. Namun, pujian ini tidak karena hasil yang
menakjubkan tetapi berhubung sudah berprestasi ''melahirkan" periset
andalan sementara masih dalam proses pendidikan. Prestasi ini sudah
dianggap tergolong pengabdian masyarakat yang ideal.
Sejarah
keilmuan, di luar sejarah kerja lembaga riset khusus, memang mencatat
bahwa ilmu pengetahuan (IP) sarat invensi yang berguna. Teori-teori
ilmiah kadang kala disusun oleh orang-orang yang imajinasinya diarahkan
ke kegunaan yang sedang didambakan oleh zamannya. Newton, misalnya,
wajar mengarahkan nalarnya ke astronomi karena hal ini adalah subyek
pembicaraan harian zamannya. Ketika itu, "menemukan jalan di laut"
merupakan masalah masyarakat di mana dia dilahirkan. Faraday
menghabiskan waktu hidupnya untuk mengaitkan elektrisitas dengan
magnetisme karena ini yang diributkan oleh zamannya. Ketika itu
masyarakat, seperti kita sekarang, sedang mencari sumber-sumber energi
baru.
Maka,
para rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan PT
yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi
kemajuan IP yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan demi
perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Justru mengenai
pelaksanaan misinya yang sejati ini, PT kita masih jauh panggang dari
api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu
saja natur dari IP.
IP
bukanlah lanjutan otomatis dari pengetahuan di level pendidikan
menengah sebelumnya. Ia adalah hasil dari suatu cara khas pembelajaran
dan cara ini tidak muncul begitu saja bagai sebuah nova soliter yang
muncul di langit hanya untuk segera lenyap atas kehendaknya sendiri.
Sebaliknya, ia menjelma dalam konteks komunikasi antara mereka yang
menulis dan mereka yang membaca, antara mereka yang memakai idiom
keterpelajaran untuk mencatat observasinya dan mereka yang menganggap
catatan itu menarik.
Spesies
pembelajaran yang kini disebut "ilmu pengetahuan" merupakan contoh yang
paling tepat dari proposisi tadi sebab kerja dan karya dari ilmuwan
kontemporer mengisyaratkan keberadaan suatu keseluruhan kompleks dari
ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, mempedulikan
karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua hal tersebut tidak
ada, yang kita namakan "kegiatan ilmiah” hanya berupa suatu fatamorgana
karena nyaris tak terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang gelar
kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis,
tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat.
llmu pengetahuan sebagal gejala sosial
Perlu
kesadaran PT untuk memperlakukan IP yang menjadi urusan sejatinya
sebagai suatu "gejala sosial", paling sedikit di lingkungannya sendiri.
Ia dituntut berbuat demikian bukan karena anggapan menanggapi capaian
intelektual khas adalah produk dari suatu masyarakat khas, melainkan
karena cara pembelajaran khas yang membuat pengetahuan sebagai
komunikasi, merupakan medium sosial di mana IP dipolakan, melalui mana
ia dikembangkan dan dengan mana ia ditransmisikan di kalangan
orang-orang yang sama-sama terlibat dalam penyelidikan yang serius.
Maka, pengetahuan khas dan cara pembelajaran khas ini, yaitu IP,
dinobatkan oleh zaman modern sebagai "the most dominant contemporary form of communicable knowledge".
Sejarah
IP menampilkan lapisan-lapisan fakta dan kejadian. Inti dari lapisan
ini adalah pembentukan teori ilmiah berupa tabel-tabel kronologis dan
catatan tentang invensi serta penemuan. Inti ini langsung dilapisi oleh
suatu dunia pemikiran yang melahirkan teori-teori tadi. Lalu, ada
lapisan ketiga berupa lingkungan profesional di mana ilmuwan berkarya,
yaitu kelompok riset tempat dia bergabung, asosiasi akademis di mana dia
tergolong, PT di mana dia mendidik, turut membuat orang "to be more". Lapisan ini adalah infrastruktur akademis. Akhirnya ada lapisan terluar, yaitu masyarakat luas.
Kita
anggap remeh lapisan-lapisan perkembangan IP dan ilmuwan tersebut dalam
upaya membangun sistem pembelajaran IP selama ini. Kita anggap ada
hubungan langsung antara perkembangan teori dengan masyarakat luas dan
mengabaikan unsur-unsur antaranya. Dengan begitu kita tidak menyadari
bahwa perkembangan IP tidak dapat diwujudkan kecuali ada usaha
partikular yang relevan untuk "menghidupkan" unsur-unsur antara tadi,
lebih-lebih infrastruktur akademis. Keseluruhan unsur itu adalah
"komunitas ilmiah" yang eksistensinya merupakan basis sosial
determinatif, baik bagi penggeloraan spirit ilmiah di kalangan sivitas
akademika kampus maupun bagi pemahaman yang benar dari masyarakat
pengguna IP tentang makna/misi sejati kampus.
Belum komunitas ilmiah
Sejujurnya, kampus-kampus kita belum merupakan komunitas ilmiah yang worthy by the name. Maka, tugas mendesak para rektor adalah mewujudkannya karena diniscayakan.
Dari
komunitas ini sudah lama ditunggu ide-ide pencerahan, solusi beberapa
masalah yang kian memprihatinkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, antara lain (i) akibat sampingan buruk dari spesialisasi walaupun diperlukan, akhirnya bisa mengganggu kemajuan dan membahayakan peradaban; (ii) akibat pembangunan nasional ala "the economics of development" membuatnya bukan pembangunan Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia dan terperangkap dalam "a great economic system which is heartless"; (iii) ada beberapa IP yang ternyala bisa dibahas sebagai "scientific discipline" dan "cultural discipline"
dan karena itu pantas dikuliahkan secara pararel sekaligus, demi
perluasan dan keseimhangan wawasan intelektual, seperti matematika,
fisika, biologi, sejarah, arkeologi, dan filosofi.
Sebenarnya masih ada aneka masalah lain, tetapi tak bisa diketengahkan karena ruangan yang terbatas dari tulisan ini.
Ketika menemui Albert Einstein, Paul Valery bertanya: "Master, what do you do to keep track of these ideas you keep generating?" Jawaban Einstein adalah, "But I've only two ideas in my whole life”,
yang ternyata ide tentang dari mana kita berangkat (titik awal) dan
hendak ke mana, kita menuju (titik final). Bukankah ini, senada dengan
ungkapan kearifan nenek moyang kita sangkan paraning dumadi. Maka, alangkah baiknya jika FRI mendatang dimanfaatkan untuk merenungi sangkan paraning dumadi di bidang pendidikan keilmuan kita.
Jika kebijakan FRI merupakan the geometry of motion,
antara titik awal dan titik final bisa ditarik satu garis lurus yang
terdiri atas titik-titik di mana setiap titik mewakili ide yang
konstruktif tentang misi sejati PT. Dengan demikian, FRI tidak
melontarkan ide rancu di bidang pendidikan yang sudah membingungkan.
DAOED JOESOEF
Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|