HARMAILIS CHANIAGO

26 October 2009
Cicak Ekor Bercabang
Secara kebetulan kawan saya menemukan seekor cicak yang agak aneh... mempunyai ekor yang bercabang. Andai ada para netter yang berminat dan ingin memiliki cicak tersebut, silakan hubungi saya lewat email berikut : harmailis_chaniago@yahoo.com





posted by Harmailis Chaniago @ 2:15 PM   0 comments
12 October 2009
Pasca bencana, pengalaman di Aceh,moga tidak berulang di Sumbar
Artikel dibawah berjudul agak ngeri UangDarah, pengalaman pasca bencana di Aceh,moga tidak berulang di Sumbar.

UANG DARAH

Seorang kawan yang telah bekerja sebagai Program Officer Disaster Management (PO-DM) sejak dua tahun lalu di sebuah INGO, mendadak ingin berhenti dari kerjanya, beberapa hari setelah bencana akibat gempa Sumatera Barat terjadi Rabu (30/09). Dia tersinggung dengan ucapan selamat dari beberapa orang yang menghubunginya. Orang-orang berpikir kehadiran bencana baru, membuka peluang kerja baru. “Dan kalau ada peluang kerja di Padang nanti, tolong ajak saya,” lanjut orang-orang itu tanpa beban.

Kini bencana bukan hanya memunculkan solidaritas kemanusiaan dunia. Di mana masyarakat manusia berusaha semampu mereka menggalang dana bantuan pemulihan dan rekontruksi wilayah bencana. Ketika penggalangan dana solidaritas sedang berjalan, saat bersamaan muncul juga ‘para pemburu uang darah’. Uang yang terkumpul karena darah, luka, dan derita sejumlah manusia yang mengalami bencana.

Masyarakat Aceh menyaksikan dengan jelas kedua hal itu muncul bersamaan, solidaritas pekerja kemanusiaan dan pemburu uang darah. Keduanya terkadang sulit dibedakan, seperti sulitnya kita menyebut pegawai BRR Aceh-Nias penerima gaji puluhan juta sebagai pekerja kemanusiaan. Karenanya artikel ini berusaha merumuskan konsep pembatas yang membedakan ‘pekerja kemanusiaan’ dengan ‘pemburu uang darah’. Perkara ini menjadi penting, karena berpengaruh pada kebudayaan kita masa kini dalam memperlakukan bencana.

Kemunculan solidaritas kemanusiaan dalam konteks bencana awalnya didorong oleh PBB, dengan resolusinya yang dikeluarkan dalam sidang Majelis Umum ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB Dalam Hal Bencana (ET Paripurno: 1995).

Seruan PBB itu mendapat sambutan dari masyarakat dunia. Pemerintah, kalangan swasta, organisasi massa, lembaga-lembaga filantropi, dan bahkan organisasi mahasiswa memberikan solidaritasnya dalam beragam bentuk. Bencana akibat gempa dan tsunami 2004 yang dialami beberapa negara telah menimbulkan gelombang solidaritas kemanusiaan terdahsyat. Aceh memperoleh bantuan pemulihan dan rekontruksi dalam jumlah terbesar dari sumbangan masyarakat dunia.

Seminggu belakangan, Sumatera Barat juga menyita perhatian dunia. Besarnya skala bencana akibat gempa di sana mendorong Uni Eropa membuat komitmen akan memberikan bantuan sebesar 3 juta euro.
Hal yang sama dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat yang segera menyalurkan 300,000 US Dollar dengan dana cadangan 1 juta US dollar. Pemerintah China akan menyalurkan 500,000 US Dollar.

Adapun Singapore, Australia, Jepang, dan Rusia memberikan bantuan alat berat dan team medis. Dua hari lalu, Pemerintah Aceh pun memberikan dana tanggap darurat sebesar 500 juta yang disalurkan lansung oleh Wakil Gubernur, bagian dari Rp1,5 miliar bantuan yang akan disalurkan. Belum lagi kita hitung beberapa lembaga filantropi yang telah mengalokasikan dana bantuannya untuk masyarakat Sumatera Barat. Berbagai media massa telah memberitakan hal ini.

Pemburu uang darah

Namun, pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat sebaiknya mempelajari sisi buruk dari pengelolaan dana bantuan kemanusiaan di Aceh. Lalu beberapa kebijakan politik harus dibuat untuk memastikan pengalaman buruk Aceh tidak berulang di Sumatera Barat.

Jika bukan karena terdapat sisi buruk dari pengelolaan dana bantuan di Aceh, bagaimana mungkin hingga hari ini masih terdapat ratusan keluarga korban tsunami yang belum mendapat rumah, padahal para pekerja dan pengelola dana bantuan (dengan gaji besar mereka) telah mampu membangun beberapa rumah?

Memperkuat hal ini, berikut saya kutip penggalan pandangan Wakil Gubernur Aceh dalam sebuah interview yang saya lakukan tujuh bulan lalu: ”sebagian lembaga donor, biaya operasional mereka di atas 50 %, artinya lebih banyak yang mereka gunakan sendiri daripada dana untuk mendukung pembangunan Aceh setelah tsunami dan konflik. Bahkan ada (tapi tidak banyak) lembaga internasional yang telah berhasil mengumpulkan dana dari rakyat dan pemerintah mereka, tetapi sama sekali tidak disumbangkan untuk masyarakat Aceh.”

Bukan hanya lembaga-lembaga internasional non-pemerintah, BRR Aceh-Nias sendiri memberikan gaji pegawainya dari 10 juta per bulan untuk tingkat asisten manajer hingga 60 juta untuk kepala badan itu. Level Direktur dan Deputi memperoleh 20 juta hingga 30 juta. Masyarakat korban tidak pernah diberitahukan berapa persen dana bantuan untuk mereka yang digunakan oleh pihak pengelola dana, 30 % kah atau lebih?

Kebijakan menggunakan dana—yang dikumpulkan atas alasan penderitaan sebagian manusia korban bencana—untuk biaya operasional lembaga pengelola dalam jumlah besar bukan saja melanggar prinsip efisiensi, tapi juga mengindikasikan kehadiran nyata para pemburu uang darah di wilayah bencana. Keadaan demikian bertentangan lansung dengan semangat dan prinsip-prinsip kerja kemanusiaan yang mengutamakan volunteerisme.

Merujuk dokumen Sphere Project, pekerja kemanusiaan memiliki prinsip-prinsip mulia, selain imparsial non-partisan, juga mengutamakan spirit sukarela dan tidak cari untung di atas penderitaan korban bencana. Sebagian lembaga yang terlibat mempercepat proses pemulihan dan pembangunan kembali masyarakat terkena bencana menaati secara ketat prinsip-prinsip mulia itu. Namun, keberadaan sebagian kecil lembaga pemburu uang darah telah merusak budaya solidaritas kemanusiaan dunia.

Perlu Pergub

Pemerintah Sumatera Barat harus segera membuat kebijakan untuk menertibkan ’para pemburu uang darah’. Strateginya bisa tidak tunggal, asal efektif. Salah satunya perlu Peraturan Gubernur (Pergub) untuk membatasi jumlah gaji para pekerja di lembaga-lembaga pengelola dana bantuan bencana. Pembatasan besaran gaji pekerja, selain dapat menekan angka persentase biaya operasional lembaga-lembaga bersangkutan, juga dapat memperkuat ulang semangat utama bekerja di wilayah bencana, yakni membantu masyarakat terkena bencana secara maksimal dengan semangat tidak mencari keuntungan material.

Peraturan Gubernur tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) tentu tidak dapat berlaku, mengingat kecenderungan pengelola dana bantuan menggaji para pekerja mereka jauh di atas UPM. Sepertinya Gubernur Sumatera Barat harus mengeluarkan Upah Maksimum Pekerja Kemanusiaan (UMPK) dalam wilayah bencana. Dengan hal ini, diharapkan keluarga korban dapat menikmati dana bantuan secara maksimal.

Oleh Affan Ramli, aktivis Prodeela
posted by Harmailis Chaniago @ 2:47 PM   0 comments
09 October 2009
MEWASPADAI DATANGNYA MUSIBAH LAIN
[Al-Islam 475] Sudah lebih dari sepekan lalu ‘Gempa Sumatra’ terjadi. Korban tewas akibat gempa berkekuatan 7.6 skala ritcher itu terus bertambah. Berdasarkan data dari Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumatera Barat (4/10), korban tewas berjumlah 603 orang. Kemungkinan korban tewas bisa mencapai 1.000 orang. Korban luka-luka juga terus mengalami peningkatan; yang luka berat sebanyak 412 orang dan luka ringan sebanyak 2.093 orang. Adapun korban yang mengungsi sebanyak 736 orang (Republika Online, 4/10/2009).

BACA SELENGKAPNYA DISINI
posted by Harmailis Chaniago @ 7:12 AM   0 comments
Mencoba Berbagi Melalui Blog Ini
Tentang Saya

Name: Harmailis Chaniago
Home:
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Politeknik Pertanian Universitas Andalas, merupakan program diploma 3 vokasional yang terdapat di Tanjung Pati, Lima Puluh Kota Terdiri dari 3 jurusan dan 8 Program Studi.

Links
Powered by

Free Blogger Templates Web Hosting

BLOGGER